Social Icons

Kamis, 17 Mei 2012

Membuat Orang Ikhlas

Bantu orang itu harus ikhlas lho…” Seorang ibu mengingatkan pada kawannya (saat ini sering membantu dengan bekam ) agar tidak mengutamakan bayaran. Karena ibu yang mengingatkan ini banyak pula membantu orang lain dengan bekam. Dan sang ibu tersebut termasuk dalam ekonomi “kelas berat
Pada suatu kesempatan, seorang ibu dimintai infaq rutin bulanan ( infaq kelompok ) untuk membantu konsumsi beberapa tukang untuk pembangunan sebuah pesantren.

Aduh bagaimana ya? Saya sekarang sedang membangun rumah nih.” Jawaban yang menandakan dia dalam keadaan ekonomi yang lagi seret, karena perlu dana yang cukup besar untuk membangun rumah barunya.
Masalah ikhlas memang susah-susah gampang. Padahal ikhlas adalah sebuah hal yang paling mendasar dalam agama kita. Saat kita shalat pun, bila tidak ikhlas maka shalat kita akan terasakan hanya lah sebuah beban.
Saat kita membantu orang lain pun akan terasa sebuah “pikulan berat”, bila kita tidak merasakan “keindahan” dalam berbagi. Seperti pepatah Cina, “ seorang pemberi bunga mawar, ditangannya ada wangi bunga Mawar”
Jika kita bisa bersedekah dalam keadaan lapang tentu hal yang biasa. Tapi bila kita melakukannya dalam keadaan yang “kejepit” tentu nilai ibadahnya lebih tinggi. Karena kita mampu mengorbankan kepentingan kita untuk orang lain yang lebih membutuhkan.
Kembali bicara tentang ikhlas, maka sering kali saya melihat beberapa ibu-ibu yang lebih rutin belanja baju baru setiap bulan ( tanpa merasa beban ), tapi bila dimintai infaq terlihat agak berat. Memang ukuran besarnya sadaqah dan infaq yang dikeluarkan seseorang adalah sesuai tingkat keimanan seseorang.
Karena ada juga seorang ibu yang hidupnya agak “ngos-ngosan” tapi tidak terlihat berat untuk menjulurkan tangannya membantu orang lain.
Ikhlas yang sering kali dilontarkan dan sering diharapkan dapat kita punyai, tentu sebuah kebaikan. Tapi apakah kita selama ini memang ikhlas? Apakah selama ini dapat melihat orang yang membantu kita, bisa dalam keadaan ikhlas? Apakah kita bisa membaca keadaan seseorang, agar kita tahu dia bisa ikhlas membantu di saat kita memerlukannya?
Seperti saat ada acara hajatan. Tentu ada beberapa ibu yang datang membantu kita di rumah dan waktu untuk keluarganya menjadi terpinggirkan. Atau saat kita terkilir datang pada seseorang, meminta bantuannya. Apakah saat itu kita membuat mereka ikhlas dalam menolong kita?
Ibu yang sering datang membantu hajatan seseorang, saya lihat termasuk kelas ekonomi kebawah. Hidupnya sederhana. Tentu dia memerlukan sokongan dana untuk waktunya membantu kita, agar hajatan kita bisa berjalan lancar. Atau saat kita datang untuk dipijat karena terkilir atau salah urat, kita melihat itu sebuah ptofesi baginya. Karena hanya itu lah yang dapat dilakukannya untuk dapat mengepulkan asap dapurnya. Apakah untuk dua macam bantuan diatas, kita masih berpikir untuk menjulurkankan tangan kita dengan memberikan uang dalam jumlah yang lumayan. Tanpa menghitung-hitung, berapa jam dia berada di rumah kita. Atau apa saja yang telah di kerjakannya untuk kita.
Sering kali memang tanpa kita sadari, kita membuat orang lain tidak ikhlas dalam membantu kita. Kita sering kali bersandar bahwa bila menolong orang lain, itu harus dilakukan dengan ikhlas. Tapi kita tidak pernah berpikir bagaimana caranya , agar orang yang menolong kita bisa ikhlas melakukannya.
Kenapa kita masih sering menghitung dan berpikir untuk memberikan “nilai lebih” kepada seseorang yang meringankan pundak kita dalam keadaan yang mendesak? Bukankah kita memberikan sadaqah bukan hanya karena balas jasa? Walau mereka tidak membantu, tapi mereka juga saudara kita, yang harus kita “lirik” bila kita berlebihan?
oleh Halimah
di kutip dari : http://www.eramuslim.com 

Artikel Terkait

0 komentar:

Posting Komentar