“Bantu orang itu harus ikhlas lho…”
Seorang ibu mengingatkan pada kawannya (saat ini sering membantu dengan bekam )
agar tidak mengutamakan bayaran. Karena ibu yang mengingatkan ini banyak pula
membantu orang lain dengan bekam. Dan sang ibu tersebut termasuk dalam ekonomi “kelas berat”
Pada
suatu kesempatan, seorang ibu dimintai infaq rutin bulanan ( infaq kelompok )
untuk membantu konsumsi beberapa tukang untuk pembangunan sebuah pesantren.
“Aduh bagaimana ya? Saya sekarang sedang membangun rumah nih.” Jawaban yang menandakan dia dalam keadaan ekonomi yang lagi seret, karena perlu dana yang cukup besar untuk membangun rumah barunya.
Masalah
ikhlas memang susah-susah gampang. Padahal ikhlas adalah sebuah hal yang paling
mendasar dalam agama kita. Saat kita shalat pun, bila tidak ikhlas maka shalat
kita akan terasakan hanya lah sebuah beban.
Saat
kita membantu orang lain pun akan terasa sebuah “pikulan berat”, bila
kita tidak merasakan “keindahan” dalam berbagi. Seperti
pepatah Cina, “ seorang pemberi bunga mawar, ditangannya ada wangi bunga Mawar”
Jika
kita bisa bersedekah dalam keadaan lapang tentu hal yang biasa. Tapi bila kita
melakukannya dalam keadaan yang “kejepit” tentu nilai
ibadahnya lebih tinggi. Karena kita mampu mengorbankan kepentingan kita untuk
orang lain yang lebih membutuhkan.
Kembali
bicara tentang ikhlas, maka sering kali saya melihat beberapa ibu-ibu yang
lebih rutin belanja baju baru setiap bulan ( tanpa merasa beban ), tapi bila
dimintai infaq terlihat agak berat. Memang ukuran besarnya sadaqah dan infaq
yang dikeluarkan seseorang adalah sesuai tingkat keimanan seseorang.
Karena
ada juga seorang ibu yang hidupnya agak “ngos-ngosan” tapi tidak terlihat berat
untuk menjulurkan tangannya membantu orang lain.
Ikhlas
yang sering kali dilontarkan dan sering diharapkan dapat kita punyai, tentu
sebuah kebaikan. Tapi apakah kita selama ini memang ikhlas? Apakah selama ini
dapat melihat orang yang membantu kita, bisa dalam keadaan ikhlas? Apakah kita
bisa membaca keadaan seseorang, agar kita tahu dia bisa ikhlas membantu di saat
kita memerlukannya?
Seperti
saat ada acara hajatan. Tentu ada beberapa ibu yang datang membantu kita di
rumah dan waktu untuk keluarganya menjadi terpinggirkan. Atau saat kita
terkilir datang pada seseorang, meminta bantuannya. Apakah saat itu kita
membuat mereka ikhlas dalam menolong kita?
Ibu
yang sering datang membantu hajatan seseorang, saya lihat termasuk kelas
ekonomi kebawah. Hidupnya sederhana. Tentu dia memerlukan sokongan dana untuk
waktunya membantu kita, agar hajatan kita bisa berjalan lancar. Atau saat kita
datang untuk dipijat karena terkilir atau salah urat, kita melihat itu sebuah
ptofesi baginya. Karena hanya itu lah yang dapat dilakukannya untuk dapat
mengepulkan asap dapurnya. Apakah untuk dua macam bantuan diatas, kita masih
berpikir untuk menjulurkankan tangan kita dengan memberikan uang dalam jumlah
yang lumayan. Tanpa menghitung-hitung, berapa jam dia berada di rumah kita.
Atau apa saja yang telah di kerjakannya untuk kita.
Sering
kali memang tanpa kita sadari, kita membuat orang lain tidak ikhlas dalam
membantu kita. Kita sering kali bersandar bahwa bila menolong orang lain, itu
harus dilakukan dengan ikhlas. Tapi kita tidak pernah berpikir
bagaimana caranya , agar orang yang menolong kita bisa ikhlas melakukannya.
Kenapa
kita masih sering menghitung dan berpikir untuk memberikan “nilai lebih” kepada seseorang yang meringankan pundak
kita dalam keadaan yang mendesak? Bukankah kita memberikan sadaqah bukan hanya
karena balas jasa? Walau mereka tidak membantu, tapi mereka juga saudara kita,
yang harus kita “lirik” bila kita berlebihan?
oleh Halimah
di kutip dari : http://www.eramuslim.com
0 komentar:
Posting Komentar