Social Icons

Minggu, 28 April 2013

"Refleksi Akhir Bulan dan Sang Maestro Pendidik yang terlupakan"


April berakhir. Tetek bengek peringatan Kartini belum banyak berubah. Bukan pemikiran kritis Kartini yang mereka kupas. Bukan pula tentang semangat juangnya yang tak pernah lelah. Lomba kebaya dan sejenisnya malah jadi rutinitas tahunan yang nyaris tanpa makna!
Kartini, sungguh pun ia seorang pahlawan, tentulah ia tak sendiri. Seperti biografi Evita Peron, Hitler, Sukarno, Mohammad Hatta dan tokoh lain yang kita kenal; pastilah ada seseorang di balik perjuangannya. Yang turut membakar semangat para “pejuang”. Dan yang membantu mereka saat terjatuh dalam langkah hidupnya.

        
Adalah KH. Sholeh Darat. Seorang ulama gaek yang namanya terkubur oleh otoritas penulis sejarah dari zaman kezaman. Secara perlahan, makin terlupakan. Ia lah yang memimbing Kartini. Ia lah yang menghadiahkan Kitab Faidh Ar-Rahman (Luasnya Kasih Sayang). Sebuah kitab tafsir Al Qur’an yang paling  awal menggunakan bahasa Jawa  di Nusantara.Ia sendiri yang menyusun kitab itu. Dengan menggunakan huruf Pegon (huruf Arabberbahasa jawa) ciptaanya, ia berhasil menuntun Kartini. Huruf Pegon pun menjadi utama pada masanya, dan menjadi legenda pada zaman berikutnya. Kini Malaysia justru berhasil membuat soft ware e-Jawi  yang membuat tiap orang bisa menggunakan huruf bersejarah ini kembali. Sungguh 

Melalui bahasa tulisnya yang penuh sentuhan hati dalam kitab tersebut, Soleh Darat telah mencetak Kartini menjadi sesosok wanita muda yang berani. Di tengah himpitan adat Jawa feodal dan penjajah Protestan Belanda yang arogan, tengoklah energi yang ada pada surat-suratnya pada orang Eropa yang berkoresponden dengannya[1]:

 “Akan datang kiranya keadaan baru dalam dunia bumiputera; kalau bukan karena kami,(saya; Kartini) tentu oleh karena orang lain” (9 Januari 1901)

“Aku hendak, aku mestimenuntut kebebasanku. Stella, aku hendak perdengarkan kepadamu. Manakah akaumenang bila tiada berjuang?” (23 Agustus 1900)

“Sungguh menyedihkanhati melihat wedana yang sudah tua beruban, lewat berjongkok-jongkok di hadapankanjeng tuan adspirant (Belanda), yang muda belia dan baru keluar (lulus) dari sekolah” (23 Januari  1900).

Kartini bukan wanita biasa. Tak seperti manusia lain di zamannya yang sibuk berpasrah diri. Kartini melawan!.

Antara benteng pingitan dari Adat Jawa. Antara budaya feodal Eropa sang Penjajah Belanda, ia pun teguh memegang iman. 
Saat Ny. Van Kol memanfaatkan kebingungan Kartini, dan membujuknya agar menerima ajaran Kristen,ia pun menjawabnya dengan bahasa yang tetap lembut dan baik ; 
“...yakinlah nyonya, kami akan tetap memelukagama kami yang sekarang ini. Serta dengan nyonya kami mengharap dengan senangnya, semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama kami (Islam) patut disukai.” (21 juli 1902)

Inilah buah semangat Kartini dari nilai-nilai Ilahi yang ia baca dari Kitab Soleh Darat. Hingga pada suatu saat ia berterima kasih padanya;
“Selama ini surat ALFathihah gelap bagi saya. Saya tidak mengerti sedikit pun maknanya. Tapi sejak hari ini aku menjadi terang benderang sampai kepada makna yang tersirat sekalipun. Itu karena Romo Kyai menjelaskannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami.” [2]

Pada kesempatan lain ia pun menuliskan kebulatan hatinya; “Sekarang ini kami tiada mencari penghibur hati pada manusia. Kami berpegang teguh-teguh di tangan-Nya. Maka hari gelap gulita pun menjadi terang, dan angin ribut pun menjadi sepoi-sepoi” (17Agustus 1902)

Karena cahaya Al Qur’an yang ia dapatkan dari Kitab Tafsir Soleh Darat, Kartini berevolusi “minazhzhulumati ilan nuur”. ; “Habis Gelap Terbitlah Terang!”
Tak hanya Kartini, Sholeh Darat juga merupakan sang Maestro yang mendidik para tokoh besar Indonesia; antara lain adalah KH Ahmad Dahlan (PendiriMuhammadiyyah), KH Hasyim Asyari (Pendiri Nahdhatul Ulama), dan KH, Idris(Pendiri Pondok Pesantren Tertua Jamsaren Solo).

Ayah Soleh Darat, KH. Umar  adalah ulama besar pejuang Islam yang pernahberjuang bersama Diponegoro. Soleh Darat sendiri hidup sezaman dan seperguruandi Mekkah dengan beberapa ulama terkenal antara lain;Syekh Nawawi AL Bantani (1814-1896), Muhammad Khalil bin Kyai Abdul Latif (1820 M) dan Syeikh Amrullah(kakaek dari Prof.HAMKA).

Karya-Karya Soleh Darat sebagaiulama dan Intelektual Muslimpun cukup banyak menjadi rujukan di dunia penyebaran Islam Asia Tenggara.Kitab-kitab yang dtulisnya antara lain adalah ; “Maj’muah asy-Syariah al kafiyah li al Awam “(Kumpulan Syariat yangPantas Bagi Orang Awam),” Lathaifat-Thaharah”(Rahasia Bersuci), dan “TarjamahSabil al Abid ‘ala Jauharah al Tauhid”(Terjemah Jalan Orang-orang AhliIbadah untuk memperoleh Mutiara Tauhid).

Ada tiga orang murid-murid Soleh Darat yang disahkan dandiberi anugerah Gelar Pahlawan Nasional Indonesia. Mereka adalah KH. Ahmad Dahlan (1868-1934 M) melalui SuratKeputusan Pemerintah RI No.657 tertanggal 27 Desember 1961, KH. Hasyim Ashari (1875-1947 M) denganSurat Keputusan Pemerintah RI No. 294 tertanggal 17 November 1964, dan Raden Ajeng Kartini (1879-1904) denganSurat Keputusan Pemerintah RI No. 108 tertanggal 12 Mei 19664. Mereka semua berjasa menggerakkan kesadaran nasional lewat jalur pendidikan bangsa. Ini awal kebangkitan bangsa kita untuk merdeka, mandiri dan bermartabat. Berdiri sama tinggi dengan bangsa lain. Bahkan pada zaman berikutnya; menjadi pemimpin dari bangsa-bangsa Asia dan bangsa-bangsa Islam.

Melalui refleksi Akhir April Kartini, kita patut mengajukan pertanyaan :”Bila para muridnya saja telah diakui sebagai Pahlawan Nasional Indonesia, layakkah Nama besar KH. Soleh Darat tenggelam? Dan dilupakan oleh bangsa dan pemerintah kita?”

Ia-lah nafas awal kesadaran dan kebangkitan ummat serta bangsa kita. Ia -lah Sang Maestro Pendidik Indonesia!! 

Mari ajak bangsa kita untuk melawan lupa!!
Hitoria Vitae Magistra!!!

[1] Prof.Ahmad Mansyur Suryanegara, “Menemukan Sejarah”; Penerbit MIZAN, 1995;  hal.177-180
[2] Badiatul Raziki dkk, “101 Jejak Tokoh Islam di Indonesia”, Penerbit e-Nusantara,Jogjakarta;2009. Hal.326
KH. Soleh Darat














dari note

Artikel Terkait

0 komentar:

Posting Komentar