Allah Subhanahu Wa
Ta’ala mengaruniai setiap manusia dengan dua potensi sekaligus, potensi
kebaikan/ ketakwaan dan potensi kemaksiatan/kelalaian/fujur(QS Asy-Syams (91):
8). Kedua naluri kemanusiaan inilah yang membedakan manusia dengan makhluk
ciptaan Allah ‘Azza Wa Jalla yang lain. Lantaran dua kecenderungan ini pula
posisi manusia bisa mulia di satu waktu, namun amat hina di lain waktu.
Ketika seorang Muslim
beribadah kepada Allah dengan benar, ikhlas, dan diiringi mujahadah (sungguh-sungguh)
menghindari maksiat, maka derajatnya lebih tinggi daripada malaikat. Mengapa?
Karena ketaatan malaikat ialah keniscayaan yang takkan berubah hingga akhir
zaman. Mereka diciptakan lengkap dengan ‘naluri’ ketaatan dan kepatuhan kepada
Allah. Sedikit pun takkan pernah terbesit keinginan bermaksiat kepada Al-Khaliq (QS
At-Tahrim (66): 6). Sebaliknya, kedudukan manusia menjadi lebih hina daripada
binatang manakala tak bisa menerima kebenaran (QS Al-A’raf (7): 179).
Keengganan menerima kebenaran yang paling bisa kita indera dalam kehidupan
sehari-hari ialah ketika seseorang dengan sukarela tenggelam dalam kemaksiatan
(tidak taat) kepada Allah. Mereka tahu mana yang baik dan mana yang buruk,
namun bujuk rayu syaithan lebih menggiurkan ketimbang janji Allah yang tak
mungkin diingkari.
Banyak penyebab sebagian
manusia lebih cenderung untuk ringan bermaksiat dan berat untuk taat. Terlebih
jika memperhatikan fenomena saat ini. Kompleksitas kehidupan yang tak dibarengi
dengan upgrade keimanan
tentu bisa dituding sebagai faktor utamanya. Beberapa faktor anakan lain
misalnya kebodohan (tidak memiliki ilmu dan hukum agama), kelalaian, kemalasan,
ketidakpedulian, sombong, dan pergaulan yang buruk. Sehingga, secara teknis,
salah satu cara supaya naluri maksiat tidak merajalela adalah menghindari
segala penyebab pengantar pintu kemaksiatan.
Mengenai hal ini,
seorang pakar tafsir Indonesia, Dr. Mushlih Abdul Karim, M.A., dalam momen
Seminar Al-Qur’an II beberapa waktu lalu menyampaikan satu cara paling ampuh
mengatasi problem ini. Menurutnya, obat anti maksiat tersebut termaktub secara
implisit dalam QS Al-Zalzalah (99): 4 yang artinya:
“Pada hari itu bumi menceritakan
beritanya”
Ibnu Katsir dalam kitab
tafsirnya mengisahkan sebuah riwayat berkenaan dengan ayat ini. Suatu hari usai
membaca ayat tersebut, Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam bertanya kepada
para sahabat, “Apakah kalian
mengetahui apa berita yang disampaikannya” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih
mengetahui” Beliau menerangkan, “Sesungguhnya
beritanya adalah dia bersaksi bagi setiap hamba, laki-laki maupun perempuan
atas apa yang telah mereka lakukan di atasnya (bumi, pen). Dia akan mengatakan,
‘Dia mengerjakan ini dan itu, pada hari ini dan itu’. Demikian itulah beritanya”
Lalu, apa korelasi
sebenarnya antara ayat tersebut dengan kecenderungan berbuat maksiat. Menurut
Dr. Mushlih, ayat tersebut seharusnya cukup menjadi satu senjata ampuh untuk
mengalahkan segala macam godaan untuk bermaksiat. Sangat logis, bukan? Ketika
keyakinan terhadap ayat ini mengkristal dalam hati, maka benteng tebal akan
tercipta. Benteng yang akan sekuat tenaga melindungi kita dari menyentuh
perbuatan maksiat. Ditambahkan oleh beliau, bahkan para koruptor sekalipun
mestinya segera bertaubat manakala meyakini kebenaran ayat ini. Maha Agung
Allah yang telah menurunkan satu ayat dahsyat semacam ini.
Sebagai introspeksi bagi
diri kita, sejauh apa keimanan kita saat ini? Bukankah salah satu pokok
iman itu ialah mengimani kitab-kitab Allah, terlebih lagi Al-Qur’an? Maka,
mulai saat ini, jadikan spirit ayat ke-4 QS Al-Zalzalah tersebut sebagai titik
tolak anti maksiat dalam tiap satuan waktu yang kita jalani. Seraya berjuang
agar selamat dari maksiat, perkuat selalu keimanan kita kepada Allah. Keimanan
paripurna yang menuntut tiap gerak hati, lisan, dan amalan organ (perbuatan)
untuk selalu berada dalam rel yang telah Allah tentukan. Semoga bermanfaat.
0 komentar:
Posting Komentar